Gawai dan Ponsel Cerdas dalam Genggaman Anak-anak

gawaiTablet atau yang kemudian disebut gawai dalam Bahasa Indonesia yang baku, dan juga smartphone atau ponsel cerdas, bukan lagi barang asing bagi warga Indonesia, baik warga perkotaan ataupun pedesaan.  Pada perkembangannya, kedua teknologi canggih tersebut bukan hanya digunakan oleh orang dewasa melainkan oleh berbagai tingkatan usia, termasuk anak-anak usia SD, bahkan PAUD. Banyak orang tua yang sengaja membelikan kedua barang tersebut untuk anak-anaknya. Entah apa alasan pasti yang mendasari keputusan orang tua membelikan barang tersebut untuk anak-anaknya? Namun menurut pengamatan saya, setidaknya tiga alasan yang melandasi orang tua rela merogohkocek sakunya demi membeli gawai atau ponsel cerdas untuk anak-anaknya. Satu, supaya anak cerdas, segera memiliki banyak pengetahuan karena kedua barang tersebut menawarkan banyak feature yang dapat merangsang kognitif anak. Kedua, supaya anak anteng bermain atau mempelajari sesuatu yang pada gilirannya tidak mengganggu aktivitas mereka para orang tua, setidaknya dalam saat-saat tertentu. Ketiga, karena alasan pergaulan. Di dunia yang serba modern ini, kadang ada orang tua atau anaknya sendiri yang menganggap deso, atau merasa hidup di zaman batu jika tidak memiliki barang canggih, semacam gawai atau ponsel cerdas, sementara orang-orang di sekitarnya memiliki barang tersebut. Di luar itu, tentu saja masih ada seabreg alasan lain.

Musabab lahirnya asumsi di atas, ini berdasarkan pengalaman saya secara langsung. Untuk alasan pertama dan kedua, alasan itu lahir dari perjumpaan saya dengan dua orang teman yang kebetulan sudah berumah tangga dan memiliki anak. Pengalaman pertama, waktu itu saya berkunjung ke rumah seorang teman yang kebetulan menjadi ajengan atau ustad. Ia memiliki tiga orang putri. Satu baru masuk SD, satu PAUD, dan satu lagi  masih bayi. Waktu itu teman saya mengabarkan bahwa anak sulungnya sudah mampu menghafal sebagian besar surat-surat Al-Quran yang terdapat pada juz 30. Ia menuturkan, bahwa kemampuan anaknya tersebut lantaran sering mendengarkan murotal dari ponsel cerdas yang ia miliki. Selain itu, anaknya juga piawai bermain game-game yang berisi pengetahuan. Ketika ditanya tentang intensitas anaknya memegang ponsel cerdas, teman saya menyatakan: sangat sering. Hal itu dilakukan untuk mempercepat kemampuan hafalan anaknya.  Lebih lanjut ia menyatakan tentang rencananya membeli lagi ponsel cerdas untuk anaknya yang kedua. Rencananya tersebut terangsang, minimal karena dua alasan. Satu, melihat kemampuan anak sulungnya dalam menghafal Al-Quran. Dua, karena sering terjadinya keributan antara si sulung dan anak yang kedua, yang dipicu rebutan ponsel. Cerita lain datang ketika saya berkunjung ke rumah salahseorang teman lama yang sudah menjadi guru. Pada saat kunjungan tersebut, saya mendapati anaknya sedang rewel, sementara ia (orang tuanya) sedang membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi demi menyelesaikan pekerjaannya mengisi ijazah. Sebagai bentuk tanggapan terhadap anaknya yang rewel, teman saya segera mengambil gawai, membukanya dan memberikan serta menyarankan anaknya untuk main game. Alhasil, cara ini sangat jitu. Anaknya segera diam, dan anteng bermain game. Alasan  ketiga lahir, waktu saya sedang nongkrong di sebuah kedai kopi. Waktu itu, tiga orang bapak-bapak kelas atas sedang asik menikmati kopi sambil bercakap. Alasan saya kenapa mengatakan kelas atas, tak lain adalah karena penampilan dan cara mereka berbicara. Percakapan yang sangat akrab mengalir. Tidak sengaja saya menguping curhat salahserong diantara ketiganya. Ia mengatakan bahwa anaknya merajuk, meminta untuk dibelikan gawai. Anaknya yang baru duduk di kelas VI SD merasa minder karena tidak memiliki gawai, sementara mayoritas teman-temannya memiliki gawai. Temannya menimpali “belikan dong, inikan bukan zaman batu! Anak gue sejak kelas 1 SD saja sudah gue belikan” Serta merta orang tua pertama, yang berkisah tentang keinginan anaknya memiliki gawai, segera merencanakan membeli gawai untuk anaknya. Malah lebih jauh ia segera menanyakan tentang kualitas dan harga beberapa merk gawai secara detail.

Di luar alasan kenapa orang tua memberikan gawai atau dan ponsel cerdas untuk anak-anaknya, beberapa artikel hasil penelitian yang berseliweran di internet ataupun dalam beberapa majalah, mengabarkan bahwa kedua barang elektronik tersebut mengirimkan dampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Pada tahun 2011, The International Agency For Research on Cancer (IRIC) yang merupakan bagian dari World Health Organization (WHO) mengumumkan bahwa paparan gelombang elektromagnetik yang bersumber dari radio televise, microwave, telepon genggam dan Wi-Fi mungkin saja menyebabkan kanker. Lebih lanjut, penelitian terbaru yang dipublikasikan Journal of Microspy and Ultrastructure, mengumumkan bahwa anak-anak lebih beresiko terkena bahaya elektromagnetik dibandingkan orang dewasa, dengan alasan bahwa mereka (anak-anak) memiliki tubuh dan otak yang lebih kecil, serta memiliki tulang yang lebih tipis. dr. Susetyo Handryastuti SpA(K) pernah menegaskan bahwa gawai hanya merangsang perkembangan kognitif tapi tidak pada perkembangan motorik kasar, halus, interaksi sosial dan kemampuan berbicara dan bahasa (Widyaningrum: 2015).

Kiranya, hasil penelitian di atas harus menjadi kekhawatiran orang tua terhadap dampak kedua barang elektonik tersebut bagi tumbuh kembang anak. Dalam hal ini, kekhawatiran dalam dosis tertentu dibutuhkan untuk mengantisipasi bahaya, mendeteksi dan sebagai upaya preventif menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak menyenangkan. Namun tentu saja kekhawatiran tersebut bukan harus dijadikan alasan untuk mengharamkan anak-anak bersentuhan, atau mengenal dan juga memanfaatkan kedua barang elektronik tersebut.  Jika orang tua ingin memberikan gawai atau ponsel cerdas kepada anak-anaknya, maka alangkah lebih bijaksananya disertai aturan main tersendiri, yang memungkinkan anak-anak tidak kecanduan untuk selalu menggunakannya setiap waktu. Dengan demikian, anak-anak mampu mencerap manfaatnya, tanpa menuai dampak.

Tinggalkan komentar